Kerja adalah wujud cinta. Bila
kita tidak dapat bekerja dengan kecintaan, tapi hanya dengan kebencian,
lebih baik tinggalkan pekerjaan itu. Lain duduklah di gerbang rumah
ibadat dan terimalah derma dari mereka yang bekerja penuh suka cita
(Kahlil Gibran).
Ngayah menjadi jiwa dalam tindakan keagamaan, kata yang anggun, santun “tiang ngayah” mendamaikan hati dan pikiran. Masihkan ngayah menjadi pundi dan panji kehidupan beragama, sosial dan budaya?. Dibutuhkan internalisasi kesadaran ngayah bukan sekedar tiket menggapai surgawi, tapi melepaskan segala bentuk keterikatan padanya. Ketika ngayah masih dilekatkan pada egoisme, mencari untung, material oriented di jenjang ini kita harus melompat melampaui semua itu bahwa Sang Penguasa atas kerja adalah Hyang Widhi.
Masihkah kita mengeluh, ngeduman ketika kerja di nilai dan di hargai
tidak sesuai dengan harapan kita. Semasih ketidaktulusiklasan itu
melekat, maka bola indah karma itu tidak akan terbang melambung lepas di alam nirvana.
Kepuasan batin tidak akan bisa diukur dengan material dan kucuran keringat ngayah adalah pangruwat klesa
pada raga untuk jalan membuka lentera nurani. Panah Arjuna tidak bisa
lepas karena kemelekatannya pada hal yang bersifat jasmani. Di titik
material kita butuh untuk kelangsungan hidup, namun terjebak dan terikat
padanya membuat terjatuh, maka pikiran harus bisa membebaskan
kebelengguan ngayah harus di bayah. Wiwekananda menegaskan bahwa “rahasia terbesar dari kemenangan sejatai (true success)
adalah seseorang yang tidak mengharapkan sesuatu sebagai balasannya,
orang sempurna yang tidak mengutamakan diri adalah yang paling berhasil
dan paling beruntung dalam dunia ini”.
Dimensi religius ngayah, jangan meminta sesuatu, jangan menghendaki sesuatu sebagai balasan, berikan kekuatan jasmani dan rohani dalam hubungan dengan Hyang Widhi,
degan sesama dan dengan semesta ini. Jangan dipikirkan kembalinya itu
sekarang, dia akan datang kembali dengan ribuan kali banyaknya, tetapi
yang paling fokus adalah perhatian tidak tercurahkan pada hasilnya
sebagaimana Bhagawadgita menyebutkan "mayi sarvani karmani, samnyasya bhutva, yudhyasva vigatajvrah".
Artinya serahkanlah segala pekerjaan
kepadaKu dengan memusatkan pikiran kepada Atma, melepaskan diri dari
pengharapan dan perasaan keakuan dan berperanglah kamu, bebaskan
pikiranmu dari yang susah.
Religius ngayah adalah pemahaman ke dalam diri bahwa mereka yang dibayangi oleh guna dari prakerti akan terikat pada pekerjaan dari guna tersebut. Akan tetapi ia yang sempurna pengetahuannya dalam mengetahui semuanya. Atma pada dasarnya adalah murni, suci, bebas abadi dan mempunyai kesadaran sendiri. Manunggalnya dengan prakerti menimbulkan kelupaan pada keadaan diri yang sebenamya yang akhimya menimbulkan ego, ahamkara, ini adalah karya prakerti. Keadaan inilah yang membuat manusia berbuat, berlaksana atas dorongan dari alam.
Religius ngayah adalah pemahaman ke dalam diri bahwa mereka yang dibayangi oleh guna dari prakerti akan terikat pada pekerjaan dari guna tersebut. Akan tetapi ia yang sempurna pengetahuannya dalam mengetahui semuanya. Atma pada dasarnya adalah murni, suci, bebas abadi dan mempunyai kesadaran sendiri. Manunggalnya dengan prakerti menimbulkan kelupaan pada keadaan diri yang sebenamya yang akhimya menimbulkan ego, ahamkara, ini adalah karya prakerti. Keadaan inilah yang membuat manusia berbuat, berlaksana atas dorongan dari alam.
Jiwa dalam kelupaan pada keadaan dirinya
yang sebernarnya harus mendapat tuntunan perlahan kearah kesadaran diri
dan pembebasan dari ikatan. Menurut Samkya ajaran pembebasan diri dari
ikatan prakerti dimana penarikan purusa dari prakerti dengan meniadakan gerak sama sekali dengan jalan yoga. Namun disisi lain Bhagawadgita mengajarkan berlaksana, bekerja, menyerahkan diri pada Hyang Widhi, tidak mengikatkan diri pada keuntungannya. Pelaksanaan demikian inilah yang dapat menuntun pembebasan diri dari ikatan.
Dalam ngayah kendalikan diri
dari kecenderungan untuk membuat tunas keakuan, jangan biarkan pikiran
memasuki lorong kegelapan dan keakuan itu. Ngayah mengajarkan
pada kita supaya menikmati keindahan segala gambaran didunia, tetapi
jangan kita mempersamakan diri dengan salah satu di antaranya bahwa “ini
milikku, ini punyaku”. Lihatlah daun teratai di air, air tidak dapat
melekat dan membasahinya, lihatlah pohon besar selalu memberikan
kesejukan dan makanan bagi penghuninya begitulah seharusnya ngayah. Masuklah dalam dunia ngayah
pelajari dan hayati rahasia kerja. Sekali lagi Wiwekananda berkelakar
“bicara saja tak ada gunanya. Burung beo pun bisa berbuat itu.
Kesempumaan dapat dicapai dengan jalan melakukan tindakan yang bebas
dari kepentingan diri sendiri”.
Ngayah adalah jalan hayu dan sebagai ajaran karma yoga
bersifat mutlak dan berlaku universal yang menjadi penerang batin umat
Hindu sebagai hukum sebab akibat. Maka dari itu Mpu Kanwa dalam kakawin
Arjuna Wiwaha menekankan pentingnya ajaran karma yoga sebagai spirit untuk dapat berprilaku bajik untuk mendapatkan kerahayuan “Syapa
kari tan temung hayu masadhana sarwa hayu, nyyata katemwaning hala
masadhana sarwa hala, tewas alisuh manangsaya purakreta tinut,
sakaharepan kasidha maka darsana pandusuta” Artinya siapakah tidak
menemukan kerahayuan bila telah bersadanakan segala kebajikan, pasti
mendapat celaka, ia yang bersadanakan segala yang buruk, bahaya bila
menyangsikan ajaran karma yang purba ini, lalu apa lagi yang patut dianut, segala harapan akan berhasil bila meniru (laku tapa) Sang Arjuna.
Hakekat dari ngayah itu adalah cinta kasih, tiap perbuatan kita serahkan pada Hyang Widhi dan penyerahan diri pada saat ngayah adalah penyucian. Pelaksanaan penyucian jiwa di dalam ngayah dengan totalitas penyerahan diri dan pelayan pada Hyang Widhi, dengan jalan ini jiwa dapat bebas dari ikatan ego. Cinta kasih, ketulusiklasan sebagai landasan ngayah sebagai daya penggerak dalam kerja, cinta kasih itu tiada lain adalah Hyang Widhi.
Sabda Sri Krsna “pada mereka yang menyembah aku dengan cinta kasih,
mereka ada dalamKU dan Aku ada di dalam mereka”. Bahwa cinta kasih dalam
ngayah yang terfokus dapat mengubah jiwa umat Hindu untuk bisa
lepas dari belenggu keterikatan dan menggugah hatinya untuk menuangkan
air jernih kebajikan sehingga bayangan matahari dan bulan akan lebih
jelas terlihat dalam nurani yang suci bersih.
Oleh: I Nyoman Dayuh
Source: Majalah Wartam, Edisi 32, Oktober 2017
Source: Majalah Wartam, Edisi 32, Oktober 2017
Tags:
Dharma Wacana